Dalam setiap konflik rumah tangga, tantu ada yang akan menjadi "korban", mungkin suami, istri atau bahkan orang lain yang mungkin tidak terlibat langsung dalam arena pertarungan suami istri, katakan anak,sebagai lingkar pertama yang akan menjadi korban, kemudian lingkar kedua adalah orang tua, mertua, ipar, dan saudara lain, dan mungkin lingkar ketiga dan kadang di luar perhitungan kita adalah orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada kita, misalnya pekerja rumah tangga.
Jadi jangan pernah mengira bahwa konflik Iran-Irak, Israel-Palestina aja yang bisa memakan banyak korban, tapi ternyata konflik suami istri pun banyak menelan korban.
Konflik disini, tidak hanya diartikan sebagai konflik perceraian, kalau bagi saya, perceraian bukan lagi dikatakan konflik, tapi sudah merupakan solusi, konflik disini saya artikan adanya pertentangan pendapat, perselisihan antara suami istri yang bisa bermuara pada perceraian, dan bisa juga tidak.
Seperti kita sadari, tak ada rumah tangga yang bisa steril dari konflik, kita bukan malaikat yang tak punya hasrat dan tak pernah membantah atas perintah, kita manusia yang dipenuhi oleh emosi tapi diimbangi oleh akal sehat, maka jika terjadi konflik, tentu lingkar pertama (dalam hal ini anak) yang akan kena imbasnya, oleh karena itu bagaimana kita meminimalisir imbas itu ke anak.
Anak punya kehidupan masa depan yang menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menghantarkannya menjadi kehidupan yang baik,berguna bagi nusa bangsa dan agama (slogan yang selalu kita dengar), tapi bagaimana jika terjadi konflik, bisakah cita-cita kita untuk menghantarkan anak menuju kehidupan yang lebih baik bisa kita gapai?
Jawabannya, tentu tergantung bagaimana kita memenej konflik kita, sehingga sehingga anak-anak tidak terlibat dalam arena konflik.
Jika anak-anak itu masih kecil, tentu secara kasat mata, mereka belum mengerti apa-apa, tapi yang paling sulit, justru jika konflik itu terjadi pada saat anak-anak mulai tumbuh kembang, mulai memahami sebab akibat, mulai mengenali lingkungan sekitar, mulai mendapat informasi dari luar, maka jika terjadi konflik, akan sangat memberatkan mereka. Stigma tentang perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, akan "dikroscekkan"mereka dengan konflik yang terjadi dengan orang tua mereka. Yang fatal, jika mereka tak mengkomunikasikan ini dengan orang tua, demikian juga orang tua tak mengkomunikasikan ini dengan anak-anak, maka ini hanya menjadikan "blunder masalah" dalam benak mereka, yang mungkin saja berimbas pada psikologis mereka.
Bagaimana meminimalisir imbas konflik ini, hal yang utama adalah bagaimana kita sebagai orang tua "melokalisir"ini menjadi HANYA MASALAH BERDUA, anak tak perlu tau, apalagi sampai mereka melihat di depan mata konflik itu terjadi, dan upayakan penyelesaian masalah ini jangan berlarut-larut, sehingga kondisi konflik yang berakibat pada anak ini tak berlangsung lebih lama.
Jika konflik ini tetap terjadi, dan perceraian belum dijadikan solusi, maka biarlah konflik itu hanya ada di lingkaran suami istri, tertutup, tanpa ada yang tau. Ciptakan kondisi di depan anak sebagaimana kondisi tanpa konflik karena jika tidak, maka kita telah mencuri hak anak sebagai anak yang harus tumbuh dalam kondisi yang harmonis dan kondusif.
Disinilah,sebagaimana judul"Anak milik siapa" menjadi satu pertanyaan yang harus kita renungkan. Mereka adalah milik masa depan mereka, sebagaimana syair Khalil Gibran, kita tak boleh merusak masa depan mereka dengan konflik kita sebagai orang tua. Kita bisa menjadi "penjahat anak" jika sampai merusak mereka dengan konflik yang terjadi yang tak bisa kita minimalisir menjadi konflik berdua.
Biarkan anak-anak tumbuh dalam kedamaian, dalam ketentraman walau dalam keadaan orang tua penuh konflik. Dalam perjanjian perangpun, anak-anak adalah orang yang harus dilindungi pertama kali bersama perempuan dan orang tua. Demikian juga jika terjadi konflik, marilah kita lindungi anak-anak kita, kita bebaskan mereka dari konflik kita, karena mereka adalah milik mereka sendiri, milik masa depannya, dimana kita sebagai orang tua wajib menghantarkan mereka dalam suasana damai dan tentram.
Sekali lagi, anak adalah milik mereka, bebaskan mereka dari konflik yang terjadi pada kedua orang tua.
Yk, 29 Juli 2008
Lily