Sabtu, 06 September 2008

"SAHABAT-SAHABAT" LOPER KORAN

Seperti biasanya, setiap pagi dalam perjalanan ke kantor saya membeli koran. Saya dan suami seperti ada "pembagian khusus", suami membeli koran tempo, kompas, dan saya Kedaulatan dan Jawa Pos. Kami sengaja tidak berlangganan, biar tidak terpaku pada satu media, dan khususnya saya, dengan membeli koran di pinggir jalan, saya seakan-akan "menitipkan diri" pada mereka. Maksudnya, dengan interaksi transaksi koran, mereka "mengenal" saya walau pasif, jadi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saya, paling tidak ada yang "mengenal".

Pola ini saya lakukan sewaktu masih bertugas di Mungkid. Jadi di sepanjang jalan Yogya Mungkid, saya punya "pos-pos" langganan koran. Misalnya di lampu merah Gamping, loper koran disini akan saya beli Kedaulatan Rakyat. Jadi ketika mobil saya berhenti, dengan serta merta lopernya akan menyodori saya Kedaulatan Rakyat. Di terminal Jombor, bagiannya Jawa Pos. Jadi ketika loper itu naik bus dan melihat saya sebagai penumpang, dengan serta merta akan memberikan saya Jawa Pos. Di Terminal Muntilan, jatahnya tabloid nova. Jadi ketika bus saya memasuki terminal Muntilan, (walau dalam keadaan tidur), loper koran akan "membangunkan" saya dengan pelan, dengan "bahasa halus" (maksudnya menawarkan) Nova dan biasanya bahasanya: "sampun kagungan Nova bu?". Dan yang di kantor jatahnya tabloid Aura. Entah mau beli atau tidak, pokoknya tiap Aura terbit, pasti di meja saya diletakkan Aura, walau kadang berulang beberapa minggu (karena kebetulan saya lagi sidang/tidak ada di tempat) dan saya harus membayar setelah "numpuk" 4-6 edisi yang belum saya bayar.Dan masih ada satu lagi, di pompa bensin Mendut. Yang ini karena tidak rutin, makanya tiap ketemu, saya membeli yang sekiranya saya jarang membeli dan saya menduga suamiku belum membeli, misalnya Republika atau tabloid Nyata.

Dari kesemuanya langganan saya, yang saya kenal namanya hanya 2, yaitu yang di pompa bensin (saya memanggilnya pak Yanto) dan yang datang ke kantor (saya memanggilnya mas Udin). Tapi dari kesemua langganan koran saya, semua punya kesan masing-masing pada saya.

Yang di lampu merah gamping, karena nyaris tiap lewat saya pasti membeli koran, makanya sejak awal saya selalu selalu "menyiapkan" uang Rp 2.000 untuk menyerahkan uang. Ini saya lakukan, kuatir waktu yang saya punya di lampu merah tidak banyak, jadi transaksi bisa cepat dilakukan. Tapi jika keadaan mendesak, saya belum bayar dan lampu sudah hijau, maka loper koran ini akan mempersilahkan saya jalan tanpa bayar dulu, dan dibayar besok harinya. Inilah yang saya kagumi, begitu percayanya si loper, bagaimana jika saya lupa/tidak membayar? Padahal mungkin keuntungannya hanya sedikit. Tapi ada hikmah yang saya bisa ambil, bahwa "kepercayaan" itu muncul bisa hanya dengan pola interaksi yang pasif.
Ada lagi yang "khas " dari loper saya ini, setiap tahun pasti saya diberi kalender Kedaulatan Rakyat, padahal kalender ini ditujukan pada para langganan, bukan kepada saya yang membeli "cetengan". Mungkin si loper sudah menganggap saya sebagai "langganan cetengan" kaleeeee.

Loper yang di terminal Jombor. Waaah...paling repot jika masuk terminal, sementara busnya gak berhenti lama. Alhasil "transaksi" terburu-buru. Atau jika bus datang, kemudian si loper tidak naik bus untuk menjajakan koran, maka saya biasanya memanggilnya dari jendela. Atau juga si loper belum sempat masuk, tapi sudah keduluan tukang ngamen, otomatis si loper akan masuk kemudian. Tapi jika tukang ngamen tau saya perlu korfan, maka pengamen akan memanggil lopernya dan akhirnya si loper akan masuk lewat pintu belakan bus untuk menyerahkan korannya pada saya.

Loper yang di terminal Muntilan. Langganan saya ada 2 orang. Tapi akhir-akhir ini saya cenderung membeli di "pak Ndut" istilah saya untuk membedakan keduanya. Karena "pak Kurus" kelihatannya hatinya sangat jelek. Selalu berebut pembeli. Padahal kadang saya maunya berbagi rejeki, dengan berganti-ganti loper yang saya beli. Kesannya si bapak kurus halus bahasanya, tapi sebenarnya beberapa kali saya dapati pak Kurus ini mengumpat jika langganannya beralih ke loper yang lain. Makanya akhir-akhir ini saya cenderung beli di pak Ndut. Hal yang sama juga pernah saya temui ketika sesama penumpang mencari pak Ndut untuk membeli koran, padahal pak kurus sudah menawarkan koran lebih dahulu.

Loper yang di kantor. Ini lain lagi....seperti yang saya ceritakan di atas, jika setiap terbit maka dengan serta merta loper ini akan meletakkan tabloidnya di meja saya. Dan dengan setianya mas Udin ini akan mencatat berapa koran yang saya beli tapi belum dibayar. Nah jika suatu waktu saya ketemu, selain saya akan membayar semua tagihan koran, saya juga pasti "numpang baca" beberapa tabloid yang mas Udin baca. Ada Nurani, idea, Home, wanita Indonesia dan lain-lain. Teknisnya, sebelum keliling kantor, pasti mas Udin mampir di ruang hakim, dan jika ketemu saya, maka koran dan tabloid "numpang baca" tadi ditinggal ke saya, kemudian mas Udin akan keliling kantor, dan setelah itu akan kembali ke ruang saya untuk mengambil tabloid "numpang baca " tadi. Hehe....kalau ini kesannya buy one get all!!

Dan yang terakhir, adalah yang di pompa bensin mendut. Ini lain lagi....karena saya tidak rutin membeli bensin di pompa bensin mendut, maka jika kebetulan mampir, maka saya akan didatangi oleh pak Yanto untuk menawarkan koran-koran yang masih ada. Jika ada Bobo, tentu akan saya beli, tapi jika semuanya sudah ada, maka pasti saya mencari-cari kira-kira koran apa yang bisa saya beli. Biasanya jatuh ke koran Sindo. Dan khasnya pak Yanto, saya biasanya membeli di atas harga bandrol (beda dengan di Gamping, yang di bawah HET), bukan karena memang harga yang diminta mahal, tapi saya membayangkan "perjuangan" pak Yanto dari rumahnya di Salaman untuk mengambil koran di Muntilan (jarak nya sekitar 18 km) kemudian menjualnya di Mendut yang jaraknya 10 km dari Muntilan, kemudian sorenya harus menyetor lagi ke Muntilan dan kembali ke Salaman. Begitu setiap harinya, dengan sepeda kayuh,nyaris setiap harinya hampir 50 km dikayuh sepedanya untuk mendapatkan sedikit keuntungan dari jualan koran. Ah....betapa kita harus menyukuri hidup kita yang ada ini, tak perlu melihat jauh-jauh, cukup dengan bertemu dengan pak Yanto, maka kenikmatan itu semakin tterasa.

Itulah sahabat-sahabat loper saya, yang telah melayani saya kurang lebih 10 tahun, mereka sudah menjadi sahabat pasif saya. Dan alhamdulillah dengan bersahabat dengan mereka, saya merasa sepanjang jalan Yogya-Mungkid saya aman, karena ada sahabat-sahabat saya di sepanjang jalan. Dan alhamdulillah selama ini tak ada kejadian yang tidak saya inginkan. Saya masih berharap, setiap saya melewati jalan itu dan bertemu sahabat-sahabat loper saya itu, saya masih membeli koran-tabloid mereka.