Kamis, 24 April 2008

Ada apa (lagi) dengan peraturan Poligami?


Ada apa (lagi) dengan peraturan Poligami?

Berita infoteiment akhir-akhir ini dipenuhi dengan berita tentang Poligami dai kondang Aa Gym,sampai sampai pemerintah ikut terusik .Sebenarnya poligami bukan hal yang baru, karena sejak adanya peradaban manusia pola poligami telah ada dan menjadi bagian dari peradapan manusia.Demikian juga di Indonesia, poligami telah telah dijalankan oleh sebagian masyarakat. Kita membaca bagaimana sejarah mencatat raja raja yang berkuasa nyaris mempunyai selir atau isteri lebih dari satu.Tapi ini tetap menarik, apalagi menurut berita, Presiden akan memperbaharui lagi tentang aturan-aturan poligami, dimana bukan hanya PNS tapi akan diperluas,termasuk juga pejabat Negara, tokoh masyarakat. Tentu ini akan lebih mempersempit kemungkinan seorang pria berpoligami.

Sekali lagi, poligami bukan hal yang baru,tapi itu semua berubah dengan adanya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang pada azasnya menganut faham monogami, hal ini tercantum dalam pasal 3 (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.Tapi kemudian pembentuk undang-undang perkawinan ini rupanya menyadari betul bahwa ini tak bisa diberlakukan secara mutlak dan peluang untuk poligami juga masih ada, hal ini diatur pada ayat (2)Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. Penjelasan dari pasal 3 ayat (2) ini menyebutkan: Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami. Sayangnya dalam penjelasan ini tidak dijelaskan siapa-siapa saja yang dimaksud dengan fihak-fihak yang bersangkutan, justru yang dijelaskan tentang ketentuan hukum agama dari calon suami jika berkeinginan poligami,yang di Indonesia nyaris semua agama tidak mengizinkan suami untuk berpoligami, hal ini mengesankan bahwa pasal tentang poligami ini hanya diperuntukkan bagi umat Islam.

Kembali ke pemahaman fihak-fihak yang bersangkutan, umumnya selama ini yang terjadi yang mengajukan izin poligami di pengadilan adalah pihak laki-laki (suami ) yang ingin beristeri, tapi sebenarnya jika mau memahami dan melakukan terobosan tentu sah-sah saja jika isteri atau calon isteri bahkan mungkin wali dari calon isteri mengajukan izin poligami. Hal ini beberapa kali muncul di persidangan, bahwa keinginan agar suami berpoligami justru datang dari isteri, tapi dalam permohonan poligami sang suami sebagai pemohon.

Lalu, bagaimana UU No 1 tahun 1974 ini mengatur batasan-batasan tentang poligami? Hal ini termuat dalam pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;b.adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Ayat (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/ isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.Dalam penjelasannya pasal 4 dan 5 tidak dijelaskan lagi karena dianggap cukup jelas. Dari pasal 4 ayat (1) huruf a-c Undang-undang ini untuk sementara kalangan aktifis perempuan dianggap sebagai “diskriminasi”karena seakan-akan penyebab diizinkannya poligami karena keadaan,kelemahan,kekurangan seorang isteri.Seharusnya kita tidak akan sampai pada stigma sedemikian, karena tentu jika kelemahan,kekurangan ada pada seorang suami, tentu suami tak punya keberanian untuk berpoligami. Demikian juga dengan pasal 5 ayat (1), kita harus menerjemahkannya sebagai syarat minimal yang harus dipenuhi dari seorang suami. Dalam diskusi terbatas, penulis pernah melemparkan ide, bahwa jika hendak poligami, dimungkinkan adanya perjanjian pra poligami sebagaimana adanya perjanjian pra nikah, dimana suami, isteri dan calon isteri duduk bersama membuat perjanjian-perjanjian yang akan mengikat suami,isteri dan calon isteri, misalnya bagaimana pengaturan jadwal kunjung, kedudukan isteri pertama terhadap isteri kedua,suami mentediakan tempat tinggal isteri dan calon isteri tak boleh dalam satu rumah demi menjaga perasaan isteri, dll. Dimana dengan perjanjian pra poligami tersebut, posisi isteri akan lebih terlindungi daripada pernyataan-pernyataan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 (2) yang akan diajukan di depan pengadilan.

Sebagai pelaksana UU No 1 tahun 1974, Presiden RI telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, tentang poligami(beristeri lebih dari seorang) diatur Dalam Bab VIII pasal 40 sampai pasal 43.Sebagai peraturan pelaksana, tak ada yang baru yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali lebih merinci apa yang termuat dalam UU No 1 Tahun 1974, misalnya dalam pasal 41 huruf c.Pengadilan kemudian memeriksa ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan:i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja;atau ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau iii. Surat keterangan lan yang dapat diterima oleh Pengadilan. Dengan penjelasan ini seorang suami dituntut untuk mampu secara materi, bagaimana jika justru calon isteri yang lebih mampu secara meteri kemudian justu menjamin kehidupan suami isteri tersebut, apakah Pengadilan dapat menerima permohonan poligami tersebut? Dalam undang-undang tidak mengatur hal tersebut, sehingga dituntut kemampuan hakim untuk melakukan terobosan dalam memahami dan menerapkan hukum.

Sebenarnya dalam Peraturan Pelaksana ini memuat tentang ketentuan Pidana bagi barang siapa yang melanggar diantaranya pelanggaran beristeri lebih dari satu tanpa izin (pasal 45). Tapi dalam prakteknya pasal ini jarang dipergunakan, tetapi yang lebih sering dipergunakan adalah KUH Pidana tentang perzinahan.

Selain ini, ada juga peraturan yang mengatur tentang poligami lebih spesifik lagi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 tentang perubahan PP No 10 tahun 1983. Peraturan ini khusus mengatur untuk Pegawai Negeri Sipil Sedang menurut peraturan ini yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil adalah:1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-undang No 8 Tahun 1974; 2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu: (a) Pegawai Bulanan di samping pensiun; (b) Pegawai Bank milik Negara; (c) Pegawai Bank milik Daerah; (d) Pegawai Bank milik Daerah; (e) Pegawai Bandan Usaha Milik Daerah; (f) Kepala Desa, Perangkat Desa dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa; Dalam PP No 10 tahun 1983, poligami diatur dalam pasal (4),(5),(9) dan pasal (10). Dari keempat pasal, tentang syarat-syarat poligami terdapat dalam pasal 10,yang isinya nyaris sama dengan syarat syarat yang telah dikemukakan di atas. Peraturan yang cukup agak urgen antara kedua PP ini adalah pada PP No 10 Tahun 1983, seorang PNS wanita masih dibolehkan untuk menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang laki-laki yang bukan PNS (pasal 11), dimana pada PP 45 Tahun 1990 pasal ini dihapuskan seluruhnya, artinya peluang seorang PNS wanita untuk menjadi isteri kedua,ketiga, keempat sudah tertutup.

Ternyata belum cukup dengan peraturan-perturan di atas pemerintah mengatur poligami, pemerintah masih merasa perlu untuk menambah paying hukum tentang poligami, maka keluarlah Inpres No 1 tahun 1991 yang lebih kita kenal dengan Kompilasi Hukum Islam. Walau tidak masuk sebagai tata urutan peraturan perundang-undangan, tapi masih banyak hakim-hakim di Pengadilan Agama menjadikan KHI ini sebagai dasar pengambilan putusan.Poligami dalam KHI diatur dalam pasal 55 sampai 59, dalam KHI juga tidak ada hal yang lebih urgen dibanding UU,maupun PP.

Lalu masih adakah yang belum diatur dari sekian banyak peraturan poligami? Rasanya sudah cukup, dengan berbagai syarat yang ada saja, sudah menjadikan seorang suami berpikir berkali-kali untuk melakukan poligami apalagi jika suami tersebut memahami betul bahwa aturan tentang poligami sangat berat. Demikian juga UU dan peraturan yang ada sudah cukup bagi hakim, untuk menerapkan dalam putusan, kalaupun ada kendala di kemudian hari masih terbuka peluang bagi hakim untuk menggali hukum yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat.

Sebenarnya pemerintah tak perlu tergesa-gesa menambah atau merubah peraturan tentang poligami,ada baiknya pemerintah menyiapkan pendidikan keluarga sejak dini, dimana nilai-nilai tanggung jawab sebagai seorang suami, isteri, juga masuk dalam pendidikan anak-anak didik.Sehingga sejak dini anak-anak kita akan memahami betul keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah itu seperti apa.Hal ini tentu akan berimbas kelak jika ia akan menjadi seorang suami dan isteri. Dia akan betul-betul bertanggung jawab dan pada akhirnya jika poligami bukanlah sikap yang bertanggung jawab, maka dengan sendirinya tentu tidak akan dilaksanakan.

Nur lailah Ahmad,