Senin, 07 April 2008
Yang Selalu Menantimu
Seharusnya aku tadi tidak memaksakan diri untuk masuk kelas. Toh aku bisa berpura-pura sakit kepala sehingga ada alasan bagiku untuk tak masuk kelas. Andai aku tak masuk kelas tentu aku tak menerima surat putus yang kini ada di selipan buku-buku pelajaranku hari ini.
Aku pingin nangis sepuasnya.....aku pingin teriak sekuatnya.....tapi itu semua harus aku tahan. Tak pantas rasanya aku yang pengurus dan menurut teman-teman dewasa harus menangis karena masalah cinta. Ih....picisan!!
Tapi aku juga manusia biasa, remaja yang mulai punya hati, punya cinta, dan aku juga ingin mencintai dan dicintai.Tapi kenapa kenyataan ini aku harus hadapi?.
Ah...rasanya hati ini sudah tak kuat untuk berteriak dan ingin menangis sepuasnya. Bergegas setelah ganti baju seragam putih, mencopot kerudung putih dan sarung batik, aku segera mengganti dengan celana panjang dan kaos. Aku berharap dengan pakaian rileks yang aku gunakan bisa membantuku untuk merilekskan hati yang sejak tadi rasanya bergemuruh, penuh amarah,penuh penyesalan dan penuh ketakberdayaan.
Setelah mengganti baju, aku menyelinap di antara teman-teman yang antri makan siang. Ah...aku sudah tidak merasakan lapar, aku tak berpikir lagi untuk makan, aku ingin menyendiri dan mengurangi berat beban hati yang aku rasakan sekarang ini. Syukur teman-teman tak ada yang memperhatikan langkahku menuju kelas waru yang berada di pojok, dekat kandang kambing. Aku memilih tempat ini karena aku yakin, tempat ini cukup aman karena nanti tak akan dipakai untuk belajar siang adik-adik kelas 1 dan 2. Sehingga aku punya waktu banyak untuk berkontemplasi.
Sesampai di kelas, aku memilih tempat di pojok maklum kelas ini tak berpintu, jika ada pintunya, tentu aku akan menutup sehingga aku merasa lebih bebas. Tapi tak apalah, di pojok ini cukup aman, takkan terlihat orang yang lewat, kecuali orang tersebut sengaja masuk ke kelas.
Aku duduk, dan menarik napas panjang untuk menenangkan diriku yang sejak siang tadi disergap kegelisahan panjang. Ya.... aku harus siap dan mencoba membaca kembali dengan hati yang tenang surat yang aku terima tadi siang. Perlahan aku ambil surat itu yang aku lipat dan simpan di celana panjangku. Aku buka surat bersampul putih polos... Ah....aku menarik napas panjang lagi....”kenapa bukan amplop pink” seperti yang aku inginkan. Uh! Kok aku melankolis begini ya...
Aku mengeluarkan surat itu dan membukanya, menarik napas panjang, menghimpun kekuatan yang ada. Perlahan ku eja kata demi kata
Lina yang baik...
Maaf kalau aku harus memberanikan diri untuk menyuratimu di saat ini, di saat kita akan menghadapi ujian. Tapi aku gak punya pilihan waktu lagi, sehingga dengan berat hati aku memilih saat ini, sekali lagi maafkan aku Lina.
Lina,
Aku mengenalmu sejak pertama kali kamu masuk ke pesantren ini. Kamu gadis baik, kamu cantik, kamu punya potensi untuk maju dan berkembang dan semua nilau positif untuk ukuran seorang gadis ada pada dirimu.
Adikku,
Kalau kemudian kita dekat dan akrab, karena banyak kegiatan kita lakukan bersama, sehingga menyebabkan kita semakin akrab, hal ini wajar. Sehingga semua teman-teman menduga kita mempunyai hubungan khusus (pacaran), inipun tak bisa kita salahkan. Karena aku juga menikmatinya dan mencoba menjalankannya.
Dik Lina,
Berbulan-bulan aku mencoba menjalani ini semua, karena aku juga melihat ada binar cinta di matamu. Aku merasakan perhatianmu yang sangat besar padaku. Tapi aku merasakan bahwa aku tak bisa mengimbanginya seperti yang kamu berikan padaku.
Aku tak bisa membohongi diriku, bahwa aku memujamu, tapi hanya sebatas kakak dan adik, karena ternyata hatiku belum bisa menerima ini. Maafkan aku Lina.
Lina adikku,
Akhirnya, biarlah hubungan kita kembali seperti sebelum adanya keakraban yang menuju kepada keintiman selain keintiman sebagai seorang kakak dan adik yang jauh dari sanak keluarga. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini
Wassalam,
Kakakmu
Abdillah
Selesai membaca surat itu, aku meutup wajahku dengan surat itu, tanpa terasa air mataku tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya... Dan akupun berteriak.....aaaaaah!!!! terasa beban yang menyesakkan dada agak berkurang.
Terbayang di pelupuk mata saat pertama kali kami bertemu, di satu siang di ruang tamu Pesantren. Sudah menjadi tradisi, jika ada tamu dari satu daerah apalagi kami yang berasal dari luar Jawa selalu jika ada salah seorang dari orang tua kami yang datang, kami teman-teman sedaerah selalu berkumpul di ruang tamu untuk menjalin silaturrahmi dan melepas kerinduan atas kampung halaman.
Saat itu, datang ibunya Siane dari Manado, akhirnya kami sama-sama berkumpul di ruang tamu, di situlah kami pertama kali bertemu.
”Hai....kamu dari Manado?” itulah sapaan pertama kak Dillah padaku.
”Ya..., apa kakak juga dari Manado” aku menjawab sapaannya. Akhirnya terjalinlah komunikasi yang indah di antara kami. Ternyata kak Abdillah ibunya dari Manado tetapi bapaknya dari Jakarta, sehingga tidak banyak teman-teman Pabelan yang menduganya dari Manado.Kak Abdillah tidak mengenal betul Manado, tapi senang sekali jika bisa dekat dengan teman-teman dari Manado, seakan-akan pulang kampung katanya.
”Kak, sudah kelas berapa di Pabelan?”, aku pura-pura bertanya, untuk mengusir kegelisahanku, karena aku agak gugup jika berdekatan dengannya.
”Ha...ha.....ya Allah Lina...Lina...kok nanyanya seperti orang linglung aja, kan tadi kak Abdillah sudah cerita kalau kakak itu lebih tua 3 tahun dari Lina, masa sih sudah lupa” Kak Abdillah menjawab sambil ketawa dan menatapku dengan mata penuh teduh, sementara wajahku merah merona menahan malu.
”haha....iya ya....tadi gak perhatikan sih kak, maklum tadi diganggu Siane terus” jawabku.
Tapi kegelisahannku bisa dibaca oleh kak Abdillah, dengan mengalihkan pembicaraan yang lain. Kebetulan ibunya Siane yang biasa kami panggil mami Atik membawa sambal khas Manado, sehingga kami ramai-ramai menyantapnya. Kondidi ini menyelamatkanku dari kegugupan berada dekat dengan kak Abdillah.
Setelah pertemuan itu, kami jarang bertemu, maklum tamu-tamu dari Manado jarang sekali yang datang, sehingga kalaupun kami bertemu, hanya berpapasan di jalan atau saat ada pertemuan konsulat sebulan sekali di hari Jumat minggu pertama.
Tapi sejak pertemuan di ruang tamu yang penuh kesan dan pesona itu, bayang-bayang kak Abdillah selalu berada di pelupuk mataku. Keramahannya, kedewasaannya, kegagahannya, seakan semuanya begitu sempurna. Dan aku semakin mengaguminya. Yang ternyata rasa kekagumanku bisa dibaca jelas oleh Siane saat aku termangu-mangu pada pertemuan konsulat di gedung bupati.
Dengan hem kotak berwarna biru orange, dipadu dengan celana biru gelap, kegagahan kak Abdillah semakin muncul. Membuat aku semakin terpesona, dan kaget ketika disenggol Siane.
”Hayooo....ngana suka pa dia ya?” Siane menebak dengan bahasa Manado, bahwa aku menyukai kak Abdillah.
”Nyanda ah...” jawabku membantah dengan bahas Manado juga, walau sebenarnya hatiku tak bisa memungkirinya.
”Ngaku ajalah.....” Siane semakin mencoba menebak perasaanku.
”Udah ah....dengerin tuh kak Abdillah lagi ngomong, malah kita ngobrol sendiri” aku mencoba mengalihkan pembicaraan, biar Siane tidak nerocos terus.
Akhirnya kami kembali asyik mendengarkan pembicaraan kak Abdillah. Yang memeberi nasehat pada kami jauh-jauh dari Sulawesi niat untuk datang ke Pesantren untuk menuntut ilmu, bukan yang lain. Banyak teman-teman yang gagal karena sesampai di pesantren niatnya melenceng dan terpengaruh dengan teman-teman yang lain. Intinya jika kita bergaul, kita harus mempunyai filter, mana yang baik dan yang harus kami hindari.
Setelah pertemuan rutin bulanan tersebut, seperti biasanya kak Abdillah menyempatkan diri untuk menyapa dan mengobrol khusus denganku, dan kali ini kak Abdillah memberiku buku”Wanita Sholikhah”karangan.........................Aku pulang kembali ke asrama dengan wajah berbinar-binar, binar kebahagiaan yang sulit terungkap dengan kata-kata.
Hari itu hari Kamis, hari yang sangat aku nantikan, karena akan diisi dengan kegiatan pramuka. Dan seperti biasanya kak Abdillah akan membimbing kami. Ini semua karena kemampuan dan ketangkasan yang dimiliki kak Abdillah membuat kak Abdillah dipercaya untuk membimbing santri putri. Apalagi pelajaran hari ini adalah lintas alam, dan kami akan diajarkan menyebrang sungai.
Cepat-cepat setelah bel pelajaran usai, kami segera pulang dan makan siang kemudian berganti seragam untuk mengikuti kegiatan pramuka.
Aku memacak diri, dengan seragam coklat, rasanya cukup PD jika bertemu dengan kak Abdillah, dan tentu inilah yang aku harapkan. Kupoleskan wajahku dengan bedak tabur, cukup tipis saja, karena jika kulitku yang menurut teman-teman cukup putih kuoleskan bedak tebal, justru akan kelihatan norak. Aku ulas juga bibirku yang merah dengan pemulas bibir yang nertral, sehingga bibirku akan semakin kelihatan indah.
Segera kupersiapkan buku pramuka serta perlengkapan pramuka lainnya, ingin segera aku berkumpul di lapangan sehingga aku segera bertemu dengan kak Abdillah.
Ternyata sesampai di lapangan sudah ada beberapa teman yang mendahuluiku, ada Lani yang dari Palembang, ada Tutik yang dari Pangkalanbun dan ada beberapa teman yang lain. Tapi pikiranku dan pandangan mataku tidak ke teman-teman yang datang, tapi ke pembina-pembina pramuka yang akan membimbing kami hari ini. Aku melihat kak Sofia, kak Tatik, kak Nunik, kak Sofyan, kak Arif. Aku mulai gelisah:”kemana kak Abdillah? Kenapa belum kelihatan?” batinku. Ah...aku mencoba menepis kegelisahanku dengan mengajak ngobrol Yani temanku dari Medan.
”Yan, materi pramuka kita hari ini apa?” aku pura-pura menanyakan, padahal jelas-jelas aku sudah tau, karena aku telah mendengarnya sendiri dari kak Nunik.
”Katanya sih lintas alam, kita akan diajari menyebrang sungai”jawab Yani dengan serius.
”Yan, kok kak Abdillah gak kelihatan ya?” akhirnya aku gak bisa juga menahan rasa ingin tauku. Walau aku tau gak mungkin Yani yang pendiam itu bisa menjawab.
”Katanya sih, kak Abdillah lagi sakit” jawab Yani, yang menyentakku.
”Kamu tau dari mana?”
”Dua hari lalu aku ketemu kak Abdillah waktu berobat di dr Was’an di Muntilan” Yani menjawab mencoba menuntaskan keinginan tauku.
Mendengar jawaban Yani, gairahku langsung menurun secara drastis. Kegiatan pembukaan acara pramuka hari ini aku ikuti dengan tanpa selera, seperti orang yang kekurangan darah, lemas dan sekenanya. Apalagi kami harus berjalan menuju sungai yang jaraknya cukup jauh dari lapangan upacara.
Waktu berjalan menuju sungai, pikiranku tak tenang, sejuta pertanyaan berkecamuk di benakku. ”Sakit apa kak Abdillah ku, bagaimana keadaannya sekarang, siapa yang merawatnya...?” ah....kegelisahanku serta ketakbergairahku terbaca juga oleh kak Tatik.
”Lina, kok kamu lemas sekali? Gak seperti biasanya tiap pramuka kamu pasti paling semangat. Ada apa?” ujar kak Tatik yang mengagetkanku.
”Enggak apa-apa, hanya tadi belum sempat makan siang” jawabku.
”Lho...kenapa? Kan tadi lauknya enak, tidak seperti biasanya hanya tahu dan tempe? Tadi kan ikan nila goreng hasil panenan kolam di depan asrama?” Pertanyaan kak Tatik atas keherannnya karena aku tak sempat makan siang. Maklum jika lauknya ikan, maka semua santri pasti bersemangat makan. Karena ikan goreng merupakan menu yang paling istiewa.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan kak Tatik, tiba-tiba dari belakang ada cletukan dari kak Arif;
”Tatik, Lina gak bergairah karena hari ini Abdillah tidak pramuka”.
Sialan batinku, kenapa kak Arif tau dengan kondisiku. Apa karena kak Abdillah menceritakan tentang hubungan kami selama ini. Maklum kak Abdillah selama ini cukup dekat dengan kak Arif.”Hiiii......gak lah yao......!! ” aku coba membalas cletukan kak Arif itu dengan bercanda.
Tak terasa perjalanan kita sampai juga di sungai karena kemudian diisi dengan saling menimpali candaan antara aku, kak Arif dan mbak Tatik.Tapi ini semua tak cukup untuk menutupi kekecewaanku mengikuti kegiatan pramuka hari ini. Rasanya pramuka hari ini sebagai pramuka yang paling tak menggairahkan. Tapi okelah aku mencoba menikmatinya. Berharap ini bisa menjadi bahan pembicaraan kami kelak jika aku bertemu dengan kak Abdillah lagi.
Di ujung sungai sana sudah ada kak Sofyan dengan memegang tali serta mengaitkannya di batang pohon di pinggir sungai. Dengan memakai pengeras suara kak Sofyan membimbing kami bagaimana cara menyebrang sungai dengan baik, bagaimana tangan harus memegang tali. Walaupun ini tadi sudah diterangkan oleh kak Nunik waktu di lapangan, tapi rasanya kak Sofyan harus menerangkan lagi, apalagi kelihatannya arus sungai cukup deras sehingga bisa membahayakan kami.
Satu persatu teman-teman mulai meniti sungai dengan memegang tali. Dengan berteriak-teriak antara kegirangan dan ketakutan Mila memulai, kemudian disusul Tika dan Luna yang berteriaknya lebih seru karena bajunya basah.
Kini tiba giliranku, dengan langkah gontai aku mencoba menyemangati diri aku meniti dan mulai menuruni sungai. Pertama aku menginjak batu yang berada di pinggir sungai, semakin ketengah aku berjalan mulai memasuki air. Aku menikmatinya, tabi tiba-tiba kakiku terpeleset berbarengan dengan datangnya deras air sungai. Akibatnya aku lepas kendali dan tak bisa memegang tali pegangan.
”Toloooong.....” teriakku, karena kemudian aku seakan-akan tenggelam di sungai. Megap-megap aku mencoba berenang. Tapi tiba-tiba terasa ada ada yang menangkapku dari belakang dan menyeretku ke pinggiran sungai.
Dalam keadaan panik aku melihat kak Abdillah telah menolongku.Aku berada di pangkuannya. Wajahku masih pucat pasi karena kaget dan takut karena rasanya aku hampir hanyut. Teman-teman menghentikan kegiatan dan mengerubungiku. Sementara dengan sigap kak Abdillah memintaku meminum air putih agar aku bisa lebih tenang. Setelah selesai minum dan aku agak tenang, aku mengucapkan terima kasih dan berusaha untuk duduk, karena tak nyaman juga dengan posisi seperti ini, apalagi masih dikerubungi teman-teman. Tapi rasanya aku belum punya kekuatan untuk duduk, dan masih belum diijinkan kak Abdillah.Dan setelah aku mulai kuat dan bisa berdiri serta berjalan, maka kami semua meninggalkan sungai untuk kembali ke asrama, apalagi hari sudah menuju senja.
Ah.....itu kejadian minggu lalu, tapi kenapa di genggamanku ada surat yang seakan-akan memaksaku untuk menghapus semua kenangan indah ini. ”Tega sekali kak Abdillah yang begitu aku kagumi telah menyakiti hatiku” tanpa terasa air mata menetes kembali di pipiku. Surat itu aku dekap kembali dalam linangan air mata.
Tiba-tiba Pingi si bisu muncul. Dan heran melihat mataku yang sembab dan masih tersisa air mata. Dengan bahasa isyarat dia menanyakanku kenapa aku menangis? Dan aku juga menjawab dengan bahasa isyarat bahwa aku baru saja patah hati. Ah….entah dia faham atau tidak, tapi bagiku kalaupun Pingi tau, tak mungkin akan memberi tau orang lain.Tapi aku tersenyum sendiri menyadari ketololanku karena menerangkan aku baru patah hati karena putus cinta, apa Pingi mengerti bahasa isyaratku yang sekenanya dengan menunjukkan hati kemudian mengisaratkan tangan seperti mematahkan ranting.
Tak berepa lama Pingi keluar, masuk pak Badrun pengantar surat kami menyodorkan padaku sepucuk amplop pink. Aku membaca surat itu memang ditujukan untukku dari kak Hamzah Manado. Perlahan aku membuka sampul amplop itu dan membacanya perlahan:
Assalamualaikum,wr.wrb.
Bagaimana kabarnya dik Lina? Semoga senantiasa di dalam lindunga Allah SWT. Amien…. Begitu pula kabar kak Hamzah dan keluarga di Manado.
Dik Lina, kita bersahabat sejak kecil, orang tua kita juga sudah seperti saudara, sehingga tak ada jarak yang membentang di antara kita.
Sejak kecil kita dijodohkan orang tua, mereka berharap kekerabatan mereka bisa dipererat dengan perjodohan ini. Kita semua menolak, karena kita menganggapnya sudah tidak zamannya lagi perjodohan itu. Dan kakak juga dan tak mendukung pola perkawinan dengan perjodohan.
Tapi dinda, semakin mengenalmu semakin tumbuh rasa cinta yang tulus pada diri kak Hamzah pada dik Lina. Dan kak Hamzah tak kuasa untuk menolaknya, karena semakin kak Hamzah berusaha menepisnya, semakin kuat aliran cinta itu. Dan kak Hamzah tak mampu untuk menepisnya.
Dik Lina ku, kak Hamzah tak kan memaksakan perasaan ini pada dik Lina, semuanya kak Hamzah serahkan pada dik Lina. Tapi kak Hamzah berharap dik Lina bisa menerima ketulusan cinta ini. Bukan karena perjodohan dari orang tua, tapi cinta itu memang bersemi dari hati kita masing-masing.
Terimalah cinta ini dindaku.....
Yang selalu merindukanmu
Hamzah
Kulipat kembali surat bersampul pink itu dan memasukkannya kembali dalam amplop pink. Kudekap dalam dadaku sambil berdoa: ”Ya...Allah.....berilah aku kekuatan untuk bisa menghadapi masalah ini”
(Cerpen ini sebagai kenangan untuk sahabatku Ernawati yang telah mendahului kami 3 tahun yang lalu. Wati....selamat jalan, doaku selalu bersamamu)