Senin, 11 Agustus 2008

"ORGASME" PUTUSAN


Saya agak kesulitan untuk mengungkapkan dengan bahasa yang lebih halus terhadap keadaan dimana seorang hakim merasa puas terhadap putusan yang dijatuhkan.Jika dipakai istilah "kepuasan" rasanya terlalu dangkal, karena orgasme menyimpan kedalaman makna lahir dan batin.

Memang sudah menjadi tugas seorang hakim yaitu menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang diberikan padanya. Artinya hal ini menjadi hal yang jamak, rutinitas, keseharian tugas, atau apalah istilahnya, tapi dari sekian banyak perkara yang
diperiksa, pasti ada beberapa yang mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi sehingga memacu hakim untuk bisa memecahkan masalah sehingga bisa menghasilkan putusan yang bisa memberi rasa keadilan bagi para pihak.

Saya tidak tau, apakah perasaan ini juga dirasakan oleh teman-teman hakim yang lain, tapi saya akan merasakan "orgasme" putusan, jika saya bisa menyelesaikan perkara dengan baik, dalam arti saya telah berusaha menempatkan perkara ini pada tempatnya baik segi keilmuan, landasan hukum, landasan sosial, dan tentunya rasa keadilan , hingga putusan yang dihasilkan adalah merupakan hasil "ijtihad".

Kadang kita tidak menduga "perjalanan" perkara, pada awalnya kesannya mudah, tapi dalam proses selanjutnya, kemudian ternyata "berliku", sehingga kesannya perjalanan sidang menjadi tersendat-sendat.
Demikian juga sebaliknya, kadang kita meras sejak awal perkara ini cukup berat, tapi proses persidangan justru perkara ini mengalir dengan lancar, sehingga tanpa terasa kita akan sampai pada muara putusan yang bisa diterima oleh para pihak.

Hari ini perasaan "orgasme" putusan saya rasakan kembali, setelah perkara yang didaftarkan sejak tanggal 27 Desember 12007, baru berakhir pada hari ini 11 Agustus 2008. Pada awalnya perkara ini sepertinya mudah, hanya seorang wanita karir mengajukan perceraian pada suaminya dengan alasan bahwa sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena suaminya sering berbohong. Sidang pertama, sang suami tidak hadir, pikir saya setelah panggilan sidang kedua dan ternyata si suami tidak hadir, tentu perkara ini akan saya putus verstek. Setelah itu rampung!!

Ternyata keadaan jauh berbeda, sang suami mengajukan eksepsi, jawaban dan gugat rekonpensi, yang akhirnya menjadikan perkara ini sebagai perkara sulit. Bagaimana tidak, dalam eksepsi, si suami mendalilkan bahwa PA Mungkid tidak berwenang mengadili perkara ini, kemudian dalam gugat rekonpensi, si suami mengajukan hak hadhonah anak kedua (mereka punya 3 anak) dan meminta hakim untuk memerintahkan para pihak melakukan tes DNA pada anak ketiga, karena suami meragukan apakah anak ketiga sebagai anak biologis sedang terhadap harta, suami meminta pengadilan menetapkan bahwa rumah dan 2 mobil adalah sebagai harta bersama yang harus dibagi dua. Sementara si istri merasa bahwa semua itu ia dapatkan dengan jerih payah sendiri, lagipula tanah dan rumah sedang dalam agunan di bank, serta salah satu mobil sudah dibagi sebagai harta gono-gini dan mobil yang lain sudah dihibahkan ke bank.
Seru kan? Dan ini memacu adrenalin kita sebagai hakim untuk mengurainya dan merumuskannya menjadi perkara yang ada dasar hukumnya. hehe....ingat pelajaran teori hukum dari pak Sudikno Mertokusumo deh!! Singkat kata, saya memutus perkara ini dengan penuh kepuasan, sehingga saya bisa katakan sebagai "orgasme" putusan.
Soal apakah perkara ini dapat diterima para pihak, dan tidak mengajukan banding adalah soal kemudian, tapi bahwa kita sudah mencapai "orgasme" putusan adalah kepuasan tersendiri bagi hakim.

Oke, bravo hakim Indonesia!!