Secara keseluruhan, undang-undang ini dibuat untuk melindungi istri pertama,tanpa penah mengakomodir wanita-wanita yang menjadi “korban” dari laki-laki. Betapa banyak wanita yang karena keluguannya tidak mengetahui bahwa calon suaminya sebenarnya masih terikat dengan perkawinan yang sah. Syukur jika kedok suaminya bias diketahui sebelum pernikahan dilaksanakan. Seperti berita di TV tadi siang terjadi di
Andai perkawinan sempat dilaksanakan, kemudian istri pertama mengajukan pembatalan perkawinan, maka bagaimana perlindungan hukum bagi wanita tadi, yang betul-betul tidak mengetahui status suami.
Undang-undang juga memberi peluang bagi si wanita untuk mengajukan pembatalan, tapi bagaimana jika si wanita tidak ingin membatalkan perkawinannya? Atau andaikata ia mengajukan pembatalan, bagaimana dengan “kerugian” yang diterima, mungkinkah si suami dituntut ganti kerugian?
Untuk kemungkinan pertama, andai si wanita tidak ingin membatalkan pernikahan (dengan berbagai alasan, misalnya mencintai suaminya), tapi istri pertama mengajukan pembatalan, maka undang-undang perkawinan tidak mengatur perlindungan hukum bagi wanita tadi. Bagaimana wanita tadi dengan itikad baiknya melaksanakan perkawinan, tapi tidak ada perlindungan hukum baginya untuk mempertahankan pernikahan yang dilakukan? Sayangnya dalam beberapa kasus yang saya adili, wanita-wanita tadi tidak pernah hadir dalam persidangan, maka wanita tadi kehilangan haknya untuk mempertahankan pernikahan. Ini mungkin disebabkan ketidakmengertian mereka akan hukum, mereka menganggap dengan tidak hadir, maka majelis hakim tidak dapat menjatuhkan putusan. Anggapan yang sangat salah, justru sebaliknya majelis akan beranggapan bahwa mereka tidak dating, maka mereka dapat menerima gugatan dan mereka kehilangan haknya untuk membela diri.
Paling tidak, dalam benak saya ada 3 sidang pembatalan pernikahan terakhir, dimana ketiga wanita yang menjadi istri kedua tidak datang. Pertama yaitu seorang guru, dimana dia menjadi istri kedua tanpa izin, kemudian istri pertama mengajukan pembatalan. Pengadilan sudah berulang kali memanggil, tapi guru tadi tak pernah hadir. Hanya selalu “berkeluh kesah” pada juru sita yang mengantarkan relas panggilan. Tentu keluh kesah tadi tak menjadi pertimbangan hakim. Kami hanya berusaha memanggil dan berharap “keluhkesahnya” diutarakan dalam persidangan.
Kedua, adalah wanita rumah tangga, yang dinikahi polisi. Istri pertama mengajukan pembatalan, tapi majelis hakim tidak bisa mendengarkan jawaban isrti kedua (sebagai tergugat) karena tidak pernah hadir dalam persiangan.
Ketiga adalah seorang bidan yang menjadi istri kedua dari dokter kebidanan dan kandungan, istri pertama mengajukan pembatalan pernikahan, lagi-lagi istri kedua tidak pernah hadir walau majelis hakim telah berusaha memanggil untuk hadir dalam persidangan.
Untuk kemungkinan kedua, jika wanita yang menjadi istri kedua mau mengajukan pembatalan, bagaimana dengan “kerugian” yang diderita selama ini, apakah mungkin diajukan semacam kompensasi atas kerugian yang dialami? Ternyata undang-undang tidak membuka peluang untuk itu. Jadi jika wanita yang menjadi istri kedua tadi mengajukan pembatalan pernikahan, maka tak mungkin mengajukan tuntutan ganti rugi atas pengorbanannya selama ini. Padahal tentu banyak hal yang telah “dikorbankan” wanita tadi dalam perkawinannya. Apakah itikad baiknya itu tidak bisa dikompensasikan dalam bentuk pembayaran ganti rugi?