Jumat, 15 Agustus 2008

PENGINGKARAN ANAK


Membaca judulnya, mungkin ada yang masih mengernyitkan kening, apalagi ini? Anak kok diingkari, bukankah ini karunia yang harus disyukuri dan dinikamati. Ini kalau semua "normal" dalam tatanan sosial,religi yang penuh keharmonisan dan dalam koridor yang semestinya.
Bagaimana jika ada "pelencengan" dari norma-norma tadi, ada kehamilan yang tidak dikehendaki, misalnya hamil sebelum nikah, atau juga ada perselingkuhan yang menyebabkan hamil? Anaknya bagaimana????

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 42,menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan pasal 44 menyebutkan:
ayat 1: Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan itu.
ayat 2: Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.


Makna dari pasal 42, bahwa setiap anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang sah, merupakan anak yang sah, tanpa mempertimbangkan usia perkawinan, apakah baru sehari menikah kemudian punya anak (hamil dulu), anak yang dilahirkan tetap diakui sebagai anak yang sah, termasuk juga tanpa melihat apakah kehamilan itu dengan laki-laki yang menghamili atau bukan.Ini mungkin terjadi akibat perkosaan atau hamil dengan kerabat, dan untuk "menyelamatkan" maka dinikahkan dengan laki-laki yang "lebih pantas".

Jika terjadi suami menduga bahwa anak yang dilahirkan bukanlah anak dari benihnya? Undang-undang perkawinan hanya mengatur bahwa ini hanya terjadi akibat zina, sementara mungkin saja terjadi bahwa karena "kelalaian" seorang masih dalam keadaan hamil walaupun telah bercerai dengan suaminya, dan kemudian beranggapan telah melewati masa iddah, kemudian menikah dengan laki-laki yang kemudian menjadi suaminya, secara hukum, kehamilan tersebut bukanlah akibat perzinahan, tapi justru pernikahan kemudian kurang hati-hati tanpa memeriksakan secara jelas bahwa wanita tersebut sebenarnya dalam keadaan hamil dengan suami sebelumnya. Tentu ini bukanlah masalah sepele, karena jika diajukan sebagai "PEMBATALAN PERNIKAHAN", undang-undang mengatur bahwa akibat pembatalan pernikahan, tidak berlaku bagi anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, padahal senyatanya bahwa kehamilan tersebut bukan dengan suaminya. Artinya anak tersebut oleh Undang-undang tetap diakui sebagai anak suami-istri tersebut. (Ini akan coba saya bahas dalam topik tersendiri).

Jika terjadi suami menduga bahwa kehamilan istrinya bukan berasal dari dirinya, maka Kompilasi Hukum Islam pasal 102 menyebutkan:
ayat 1: Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
ayat 2: Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tidak dapat diterima.

Coba kita cerna makna peraturan ini, kesempatan untuk pengingkaran anak hanya sampai 180 hari setelah anak itu lahir (6 bulan) sesudahnya gugatan tersebut tidak diterima. Kalimat berikutnya justru memungkinkan pengajuan tersebut tanpa batas waktu, waktu hanya dibatasi setelah 360 hari setelah perkawinan, artinya walau anak tersebut telah berusia 6 tahun, kemudian orang tuanya bercerai, justru suami dalam 1 tahun masih bisa mengajukan hak pengingkaran anak. Ini yang membuat peraturan ini tidak jelas, seperti yang saya hadapi.

Seorang laki-laki sebutlah Abdillah bekerja sebagai TKW di Hongkong, 2 minggu setelah kembali, oleh keluarganya dinikahkan dengan seorang wanita, sebutlah Suciwati. Usia perkawinan baru berusia 6 bulan, Suciwati ternyata melahirkan anak. Tentu Abdillah sangat yakin bahwa anak itu bukanlah anaknya. Tapi karena masih mempunyai pertimbangan yang banyak, misalnya menunggu istrinya sehat dan lain-lain, Abdillah mengajukan pengingkaran anak setelah anak itu anak itu berusia 8 bulan, tentu gugatan tersebut tidak bisa diterima. Hakim menyarankan untuk mengajukan perceraian dahulu, kemudian ajukan hak pengingkaran anak.

Ada kasus yang "mirip" tapi punya dimensi lain, seorang laki-laki sebutlah Badrun, menikah dengan seorang wanita sebutlah Mawar, juga karena dijodohkan karena selama ini laki-laki bekerja di luar daerah. Ternyata pernikahan baru berjalan 4 bulan, istri melahirkan. Tentu Badrun yakin betul bahwa istrinya hamil bukan dengan dirinya, maka dikembalikanlah Mawar ini ke orang tuanya. 5 bulan setelah anak lahir Badrun mengajukan cerai talak ke Pengadilan (tidak mengajukan gugatan pengingkaran anak, walau sebenarnya waktu masih membolehkan), kemudian oleh Mawar diajukan gugat rekonpensi meminta penetapan bahwa anak yang dilahirkan adalah anak yang sah Badrun dan Mawar. Badrun tentu menolak, tapi tentu sudah terlambat untuk mengajukan gugat pengingkaran anak, walau Mawar sendiri mengakui bahwa sebelum menikah, belum pernah melakukan hubungan suami istri dengan Badrun. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya permohonan cerai talak Badrun diterima sedangkan permohonan penetapan anak saya tolak, dengan pertimbangan bahwa penetapan anak tidak bisa digabungkan dengan perkara cerai. Dan anak secara hukum tanpa perlu penetapan, tetaplah anak Badrun dan Mawar. Inilah dilematisnya, hanya tentu masih ada perlindungan hukum bagi Badrun, bahwa ia masih bisa mengajukan pengingkaran anak, setelah perceraian terjadi.

Kesimpulannya, jika memang seorang suami merasa bahwa anak yang lahir dalam perkawinan tersebut bukanlah anaknya, maka Undang-undang memberi perelindungan hukum padanya untuk mengingkari anak tersebut sebagai anaknya.