Sabtu, 30 Agustus 2008

Pada Suamiku....

Papa, malam ini di penghujung Sya'ban, sesaat lagi memasuki Rhamadhan,sebagai manusia biasa mama ingin menghaturkan sembah sujud mama atas segala kesalahan dan kekhilafan yang selama ini pernah mama lakukan sejak 15 sya'ban (tanggal pernikahan kita) 13 tahun silam, sampai hari ini.

Sebagai istri, rasanya mama jauh dari nilai-nilai "kewajiban sebagai istri" yang sering kita baca. Ah....rasanya kalau baca buku yang bernilai "normatif", nilai mama begitu jauh dari standar. Jika Undang-undang pernikahan (hehe...punya istri hakim, bicaranya UU mulu ya???), seorang istri wajib mengurus rumah tangga, maka mama berada pada level terendah deh. Apalagi jika kewajiban mengurus rumah tangga ini diartikan sebagai kewajiban mengerjakan tugas-tugas berkisaran wilayah dapur, kasur dan sumur. Waaah...mama mundur dan harus tau diri bahwa mama tak bisa memenuhi kewajiban itu semua. Bagaimana tidak, pagi berangkat kantor dan pulang sudah menjelang malam, rasa-rasanya sangat musykil untuk bisa menyentuh wilayah dapur dan sumur deh.

Mama menyadari betul bahwa nilai mama betul-betul "gugur", jika semuanya kita mengaju pada nilai-nilai normatif tadi. Coba kita tengok tetangga kita, istri-istrinya di rumah, mengurus suami dan anak-anak begitu sempurna. Sejak pagi sampai malam, mereka betul-betul mengerjakan sendiri, sedangkan mama... sebagian besar dilimpahkan ke mbak Yem.(makanya mama yang paling kalang-kabut jika mbak Yem pamit tidak datang walau hanya sehari). Yang repotnya, mama kadang lupa, kalau mbak Yem statusnya hanyalah asisten mama, yang sebenarnya kewajiban sepenuhnya ada di mama. Makanya ketika mbak Yem gak datang, rasanya seharian hanya "grundel" dan grundel.

Papa, pernahkah papa menyesali menjadikan mama sebagai istri? Ah....tapi kalau dilihat dari profile papa, mungkin pernah tapi hanya sampai di hati. Papa selalu bersyukur dengan apa yang telah ada, tanpa banyak menuntut. Mama memaklumi kok jika memang papa pernah menyesali, walau hanya "terbersit" sesaat.Memasuki usia pernikahan yang ke 14, mungkin rasa penyesalan tadi (walau hanya "terbersit"), telah berubah menjadi kepasrahan menerima kenyataan yang ada.

Rasanya sangat basi kalau mama bicara tentang semua rumah tangga pasti punya persoalan, dimana kadar persoalannya beragam, tergantung dengan penilaian kita yang mengalami. Seperti juga kita, persoalan juga menghantui dengan kadar yang kadang sangat besar dan rasa-rasanya tak mampu kita menghadapinya dan juga persoalan kecil yang hanya bagaikan angin lalu, seperti (maaf) kita protes karena ada yang kentut, maka setelah bau itu menghilang, protes kita mereda dan menjalani semuanya seperti tanpa pernah ada bau kentut.

Tentang persoalan yang sangat berat, ah....ada teman mama yang dengan persoalan yang hampir sama, sudah memutuskan untuk pisah. Tapi bagi kita, walau semua orang sudah mengusulkan dan mendesak, tapi kalau kita tidak memilih itu sebagai penyelesaian, tentu perpisahan itu takkan pernah terjadi.

Pa, apalagi yang kita harapkan dalam membina rumah tangga kita selain menjadikan semuanya lebih baik kan? Membimbing anak-anak untuk bisa menggapai cita-cita mereka.Bahagia sekali jika kita bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita. Kita sudah pada sampai di titik dimana kita sudah tidak saling menuntut. Kita sudah sampai pada titik kita berbuat untuk pasangan kita, tanpa ada tuntutan. Yang ada sikap pasrah dan menerima sehingga ada berkah di dalamnya.

Eh...kok ngelantur ya ngomongnya, padahal niat awal menulis hanya untuk mengucapkan selamat menjalankan ibadah rhomadhan, semoga amal ibadah kita selama ini diterima dan segala dosa diampuni. Dan sebagai istri yang telah mendampingi papa, mohon maaf jika selama ini mama banyak berbuat salah dan khilaf. Terima kasih atas kebaikan papa selama ini.

Sungkem mama,
Lily